Persawahan Organik dengan teknik Tiga Tanpa

Yudi Anto

Indonezja

Streszczenie

Nur Tjahjadi menanam padi secara langsung, tanpa olah tanah, tanpa semai, dan tanpa penyiangan.

Bukan karena Nur Tjahjadi bergelar lumpur. Buktinya ketika mitra usaha tani berkunjung ke lahannya, guru besar di Universitas Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, itu menangkap nila dan bawal seukuran telapak tangan. Keruan saja celana dan baju kotor terkena lumpur. Tiga kali kotor, tiga kali pula Tjahjadi berganti pakaian. Mantan dosen di Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya itu mengelola lahan seluas 3.000 m2 di Cihideungillr, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Di lahan itulah ia menanam padi tanpa olah tanah dan tanpa semai, la biasanya membagi lahan itu menjadi beberapa kavling seluas 800 m2 sehingga penanaman bergilir. mitra usaha tani menjelaskan Tujuannya agar dapat panen berkesinambungan. Pada pengujung Desember 2011, misalnya, tampak rumpun rumpun padi IR64 yangtengah mengeluarkan malai. Tanaman anggota famili Poaceae itu tampak subur dan kokoh. Di sela-sela padi Itu, hidup ratusan nila Oreochromis niloticus sehingga Nur Tjahjadi panen dua komoditas sekaligus.

Nila “mencangkul”

Sebelum menebar, Tjahjadi merendam 3-5 kg benih untuk luasan 800 m2. Seluruh benih terendam air. Doktor Entomologi itu membuang benih yang mengambang di permukaan air karena tak bernas. Itulah sebabnya daya kecambah benih mencapai hampir 100%. Petani padi Itu lantas membuang sebagian air di sawah ke area lain hingga tersisa rata-rata sejengkal. Ketika itulah ratusan ikan nila bergerak ke sana ke mari seperti mencangkul tanah. Tjahjadi memang melepaskan 150 kg nila—1 kg terdiri atas 12 ekor-di sawah itu sebulan sebelum menebar benih padi.

la kembali mengurangi air hingga tanah macak-macak-tanah tanpa genangan air, tetapi juga tak kering-menjelang penebaran benih. Ikan-ikan anggota famili Cichlidae itu dengan sendirinya tergiring ke lokasi yang lebih dalam di ujung lahan (lihat infografis). Perbedaan kedalaman antara sawah sebagai lokasi budidaya padi dan kubangan itu sekitar 25 cm.

Di atas tanah macak-macak itulah ia menebar benih padi. Hingga tanaman berumursebulan, kondisi tanah tetap macak-macak. Beberapa tanaman memangtumbuh berimpitan. Itulah sebabnya, Nur Tjahjadi memindahtanamkan kira-kira 20% dari total populasi. Dengan begitu “penanaman" tampak lebih rapi dan teratur. Setelah itu tanaman relatif kuat sehingga ahli musuh alami itu menambah ketinggian air kira-kira separuh batang tanaman terendam.

Lokasi sawah persis di sisi sungai kecil yang tak pernah kering meski kemarau. Tjahjadi tinggal membuka pintu air, maka air pun mengalir ke sawah. Sebelum penanaman, ia memberikan 20 karung pupuk kandang kotoran kambing matang masing-masing berbobot 30 kg. Pupuk susulan berikutnya berupa pupuk kandang kotoran ayam matang sejak padi berumur sebulan. Bila lazimnya petani organik menebar pupuk kandang, Tjahjadi justru membiarkan pupuk dalam karung dan terapung di sawah.

Lambat urai

Setiap dua hari sekali, ia menambahkan sekarung pupuk kandang kira-kira berbobot 15 kg. Total jenderal hingga panen di lahan 800 m2, ia memberikan 35 karung pupuk seharga masing-masing Rp7.000. Menurut Tjahjadi pupuk dalam karung akan lebih tahan lama dan lambat urai. Menurut ahli tanaman pangan dari Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Heni Purnamawati MSc Agr, pupuk kandang “lambat urai” dalam karung, sangat riskan. Sebab, unsur hara pupuk kandang dalam karung berpeluang hilang, la menyebutkan unsur nitrogen mudah menguap.

Adapun unsurfosfordan kalium gampang tercuci, terutama jika lahan dengan air yang mengalir. “Lebih aman jika pupuk kandang dibenamkan di lahan,” ujar alumnus Georg August University, Goettingen, Jerman, itu. Beberapa hari setelah pemberian pupuk, air sawah yang semula kecokelatan berubah hijau.

“Air berubah menjadi hijau karena fitoplankton telah tumbuh,” kata Tjahjadi. Manfaat fitoplankton sebagai sumber pakan bagi burayak nila. Itulah sebabnya pelet sekadar pakan tambahan yang ia berikan 1 kg per hari. Selama budidaya padi, tak sekalipun ia menyiangi lahan karena gulma memang tak tumbuh di sawah yang terendam air hinggga 30-40 cm. Padahal, dalam sistem budidaya konvensional, petani rata-rata 2 kali menyiangi. Untuk luasan satu ha, seorang penyiang perlu 25 hari kerja. Selain itu organisme penggangu tanaman seperti wereng praktis tak pernah menyerang.

Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) rendah, “Karena saya menerapkan pengendalian secara kultur teknik, yaitu menjaga tanaman padi supaya tetap sehat, otomatis serangan OPT rendah jika tanaman sehat dan ketahanan (resistensi) tanaman terhadap OPT jadi meningkat juga. Serangan OPT rendah bukan karena terisolasi, di sekitar tanah saya orang tanam padi semua,” kata Tjahjadi. Dari tiga kali penanaman dengan teknologi tanpa olah tanah, ia tak pernah menyemprotkan pestisida. Itulah sebabnya ia mengklaim beras hasil panen di lahannya merupakan beras organik.

Dari lahan 800 m2, Tjahjadi menuai 600 kg padi kering giling. Produksi itu setara dengan panen dengan pola budidaya konvensional. Keruan saja, la juga panen 600 kg nila beberapa setelah menuai padi. Sistem tabela alias tanam benih langsung-tanpa semai-menyebabkan umur panen 15 hari lebih cepat. Itu karena masa vegetatif ada di satu tempat. Bandingkan dengan penanaman padi dengan semai, tanaman mengalami stagnasi ketika pindah tanam dari persemaian ke sawah.

Setelah panen dan hendak menanam ulang, Tjahjadi tak pernah menggunakan herbisida sedikit pun. “Pestisida tak saya gunakan sedikit pun. Sisa batang padi itu mati dengan sendirinya setelah direndam air, batang padi yang busuk itu juga dimakan ikan, keong emas, dan mikrob tanah,” kata alumnus Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor itu. Selain itu, cacing tanah juga banyak di tanah sekitar akar padi.

Multifaedah

Menurut Dr Sarian Abdulrachman, peneliti padi dari Balai Penelitian Tanaman Padi, Subang, Provinsi Jawa Barat, penanaman tanpa olah tanah memungkinkan. Syaratnya lokasi budidaya di tanah yang mudah melumpur dengan genangan.

Ahli budidaya tanpa olah tanah dari Universitas Lampung, Prof Ir Muhajir Utomo PhD, MSc, mengatakan teknologi tanpa olah tanah menekan hingga 60% emisi gas rumah kaca. Sebab, tanpa pengolahan tanah berarti bahan organik tak terekspos atau tak teroksidasi dengan oksigen. Selain itu, efek tanpa olah tanah adalah bahan-bahan organik meningkat sehingga kualitas tanah pun meningkat dan pada akhirnya produktivitas meningkat.

Doktor alumnus University of Kentucky, Amerika Serikat, itu mengatakan teknologi tanpa olah tanah marak 20 tahun terakhir. Namun, penerapan teknologi tanpa olah tanah pada budidaya padi sangat rendah. Di Lampung, misalnya, kebanyakan para petani palawija seperti kedelai dan jagung yang menerapkan teknologi tanpa olah tanah.

Selain menekan emisi gas rumah kaca, sistem tanpa olah tanah juga menekan biaya persiapan lahan hingga 40%. Itu berarti biaya produksi juga berkurang. Muhajir mengatakan teknologi itu sekaligus menghemat waktu musim tanam hingga sebulan. Oleh karena itu jumlah penanaman dalam setahun pun meningkat.

Meski demikian, menurut Heni Purnamawati, budidaya tanpa olah tanah sebaiknya tak terus-menerus. Alasannya tanpa olah tanah menyebabkan ketersediaan oksigen sangat terbatas. Padahal, akar tanaman anggota famili

Poaceae itu memerlukan oksigen untuk tumbuh. Jika demikian, menurut Heni, idealnya sesekali petani mengolah tanah sebelum penanaman. Namun, hingga kini Tjahjadi telah tiga kali menanam padi tanpa olah tanah dengan produksi konstan

Słowa kluczowe:

sawah;padi;pertanian

Bibliografia

Anto, Yudi. “Meningkatkan Kualitas Dan Produksi Padi Dengan System of Rice Intensification.” Budidaya Tani, 23 Nov. 2021, https://www.budidayatani.com/meningkatkan-kualitas-dan-produksi.html.

System of Rice Intensification - SRI Methodologies. http://sri.ciifad.cornell.edu/aboutsri/methods/index.html. Accessed 30 Nov. 2021.

Metode Tanam Padi System of Rice Intensification (SRI) | Dinas Pertanian. https://distan.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/metode-tanam-padi-system-of-rice-intensification-sri-74. Accessed 30 Nov. 2021.

“System of Rice Intensification (SRI).” ICIMOD, https://www.icimod.org/solutions/system-of-rice-intensification-sri/. Accessed 30 Nov. 2021.

“Adoption of System of Rice Intensification (SRI).” IFAD, https://www.ifad.org/en/web/latest/-/video/adoption-of-system-of-rice-intensification-sri-. Accessed 30 Nov. 2021.